Sabtu, 22 Juni 2013

CINTA ADA KARENA LUKA (Special Short True Story About Broken Heart)


Senja itu langit perlahan berubah warna menjadi gelap, ya, mendung. Hiruk pikuk orang-orang di sebuah taman yang sedang berjalan ke satu tujuan dimana untuk menghindari hujan yang akan datang, atau bisa dikatakan mereka pulang kerumah. Namun, Evlin masih saja tetap bertahan dibangku itu, letaknya ditengah taman didekat danau, disampingnya terdapat sebuah pohon akasia yang daunnya mulai berguguran satu persatu diterpa angin.

“Huhhh…” rintih Evlin pelan

Kenangan itu kembali melesat dalam pikirannya, bayangan itu, seakan nyata didepan matanya. Ia masih bisa mengingat betapa basah pipinya karena air mata yang mengalir, ia juga masih bisa mengingat kejadian itu, yang rasanya baru saja terjadi, padahal itu telah terjadi berminggu-minggu yang lalu, serta ia bahkan masih bisa merasakan luka yang baru tergores saat itu, yang masih basah, tersayat dalam, & takkan terlupakan.

“Aku tahu, aku yang mengakhiri semua ini. Itu semua karena aku ga sanggup kamu buat seperti ini, aku sakit. Namun disisi lain, aku benar-benar tulus mencintaimu, tapi kenapa kamu ga pernah menghargai perasaan aku?”

“Maafkan aku, Evlin. Kita udah ga bisa bersama lagi, aku udah terima keputusanmu itu. Dan aku rasa lebih baik kita berteman saja…”

“Tapi Ben…”

Cinta memang menyakitkan untuk Evlin, ia yang selama setahun terus tersakiti oleh Ben, terpaksa mengakhiri hubungannya sendiri. Dan dari situlah, Evlin tahu. Bahwa Ben selama ini tidak pernah tulus mencintainya, tidak pernah ingin memperjuangkan hubungan mereka, dan ketika terbebas dari Evlin, Ben seperti burung yang lepas dari sangkar, Evlin sudah lelah berjuang sendirian untuk mempertahankan hubungannya itu. Walaupun sebenarnya berat, cinta itu sudah seperti akar pohon akasia yang hidup berpuluh-puluh tahun ditaman itu, kuat & dalam menembus tanah, banyak menyimpan kenangan, serta sukar untuk dihancurkan.
Tak terasa, air mata pun jatuh membasahi pipi Evlin, seiring dengan turunnya rintik-rintik hujan yang jatuh membasahi bumi.
***
“Ev, jalan yuk?” ujar Bella
“Kemana?” jawab Evlin
“Nonton bioskop, aku udah lama nih ga nonton film. Temenin yuk? Sekalian aku mau kenalin kamu teman-teman kuliah aku. Ya sebagai murid universitas yang baru & baik, harus punya banyak teman dong?”
“Hm, iya deh iya. Aku juga lagi bosen nih.”
“Oke sip, siap-siap gih sana!”
“Iya iya, bawel.”

Bella, merupakan sahabat Evlin. Mereka berteman sejak SMA, meskipun sekarang mereka berbeda universitas. Bella sangat mengetahui semua kisah yang dialami sahabatnya Evlin, seperti yang ia tahu sekarang bahwa Evlin trauma dengan suatu hal yang namanya CINTA. Semenjak putus dengan Ben, hidup Evlin kini tak jauh dengan air mata, oleh karena itu sebagai sahabat yang baik, Bella selalu ada disamping Evlin untuk menghibur.

“Ev, nih kenalin teman aku namanya Jill, Lily, & cowok yang satu ini namanya Kevin.” ujar Bella seraya menunjuk orang-orang yang dibilang temannya itu.
“Hai. Evlin…” ucapku dengan melemparkan sebuah senyuman ke mereka bertiga & berjabat tangan satu per satu.
Tiba-tiba saat bersalaman dengan Kevin…
“Hai, Ev. Aku Kevin…”
“Hei? Kok melamun? Ada yang salah dengan aku?”
“Oh, ngga ngga kok.”

Evlin melamun, terasa seperti Kevin memancarkan aura tersendiri saat didekat Evlin, rasanya Evlin pernah bertemu dengan Kevin. Namun, momen itu juga mengingatkan Evlin pada saat pertama kali berkenalan dengan Ben. Sesak & bingung, itulah yang ada dibenak Evlin sekarang. Ia tidak tahu kenapa ini bisa terjadi. Ternyata kegelisahan Evlin terbaca oleh Bella.

“Ev, kenapa?” tanya Bella
“Ngga kok, Bel. Oh iya aku tiba-tiba ga enak badan nih, aku pulang duluan yah?”
“Jangan bohong deh, Ev. Aku tahu, pasti sekarang kamu keingat sama Ben, kan? “
“Hm… Iya, Bel. Ntah kenapa perkenalan aku sama Kevin mengingatkan aku dengan Ben…”
“Ev, aku tahu kamu tulus mencintai Ben, karena dia juga cinta pertama kamu kan? Tapi Ev, sampai kapan kamu begini terus? Apakah Ben juga ngerasain apa yang kamu rasain sekarang? Ngga kan? Bahkan dia ga mungkin sering keingat dengan kamu, lihat aja kemarin dia ga ada usaha buat jelasin semuanya pas kamu bilang putus kan? Untuk apa mikirin orang yang ga pernah mikirin kamu? Untuk apa nangisin orang yang ga pernah nangisin kamu? Open your eyes, Ev!”

Evlin cuma diam, didalam hatinya ia membetulkan kata-kata Evlin. Namun semua itu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Luka itu butuh waktu untuk sembuh, dan ketika sembuh juga pasti akan meninggalkan bekas, bekas yang akan dibawa seumur hidup. Cinta yang membuat semua ini, hanya cinta yang dapat membuat sebuah taman berbunga menjadi gurun pasir yang gersang.
***
Handphone Evlin berbunyi, ternyata ada seseorang yang menelpon. Namun, nomor tersebut tidak terdaftar dikontak handphone Evlin.

“Halo. Ini siapa ya?”
“Halo, ini Evlin kan? Aku Kevin…”

Evlin terkejut mendengar hal itu, siapa yang telah berani memberikan nomor handphonenya ke orang lain? Jawabannya pasti, Bella!

“Oh, iya ada apa ya?”
“Ngga, oh iya tadi Bella pesan sama aku, katanya nyuruh kamu untuk pergi ke taman ntar sore.”
“Hah? Ngapain? Kok dia ga telpon atau sms aku yah?”
“Ga tau juga sih, tapi tadi dia sibuk banget soalnya.”
“Oh iya deh, thanks ya, Kev.”
“Sama-sama.”

Suasana taman itu tidak terlalu ramai sore ini, mungkin karena hari ini bukan hari Minggu atau Sabtu, melainkan hari Senin. Dimana mungkin sebagian orang lelah akibat sibuk bekerja dan memilih pulang kerumah daripada menikmati keindahan taman ini.

“Mana sih Bella? Udah sejam nunggu, eh ga muncul-muncul.” gumam Evlin sambil memindahkan posisi duduknya.
“Hai, Ev!” panggil suara yang tidak asing ditelinga Evlin
“Kevin? Kok kamu disini?”
“Aku disini buat ketemu sama kamu.”
“Ketemu aku? Untuk apa?”
‘“Ga kenapa-kenapa. Oh iya kenapa kemarin kamu kelihatan murung?”
“Kapan?”
“Pas kita pertama ketemuan, kamu ada masalah?”
“Hm, ngga kok. Kamu jangan asal tebak deh.”
“Terkadang kita harus dipertemukan dengan seseorang yang salah, sebelum akhirnya dipertemukan dengan seseorang yang benar. Masa lalu bukanlah sebuah kejadian yang perlu disesali akan kehadirannya dalam hidup, namun masa lalu harus dijadikan sebuah pelajaran agar kesalahan itu tidak terulang untuk kedua kalinya. Mungkin Tuhan memisahkan kamu dengan orang yang kamu cinta, karena dia bukan yang terbaik untukmu, dia tidak tulus mencintaimu, dia tidak pernah berjuang untuk hubungan kalian, & dia dengan mudahnya membiarkan orang yang mencintainya pergi dari hidupnya. Percayalah, Tuhan akan menggantinya dengan seseorang yang cintanya lebih besar dari cintamu, yang akan berjuang dalam hubunganmu, & yang akan terus menggenggammu agar kamu tidak pergi dari hidupnya.”

Evlin terkejut mendengar semua perkataan Kevin barusan. Kenapa dia bisa tahu? Apa Bella sudah membocorkan rahasia hidupnya dengan orang lain? Evlin ingin marah, namun ia kembali teringat dengan Ben. Apa yang diucapkan Kevin memang betul apa adanya, namun sekali lagi, cinta yang dapat membuat seseorang bertahan sendirian dalam luka.

“Ayolah, Ev! Move on! Masih ada orang yang mencintaimu didunia ini, termasuk AKU!”
Bagai tersambar petir disiang hari, hal gila apa lagi ini? Seorang cowok yang baru sekali ia temui menyatakan cinta?
“Hah? Apa kamu gila? Kamu boleh menasehatiku dengan kata-kata puitis itu! Tapi ingat, kita baru sekali ketemu, dan dengan semudah itu kamu menyatakan cinta? Sepertinya kamu belum tahu makna cinta yang sesungguhnya…”
“Aku sudah tahu, bahkan sejak 4 tahun yang lalu! Sejak kita masih duduk di bangku SMA, ingat?”
Apa? SMA? Rasanya Evlin tidak pernah mempunyai teman SMA bernama Kevin, apa-apaan semua ini? Apa Evlin pernah amnesia sehingga tidak bisa mengingat dengan baik teman-temannya?
“SMA? Siapa kamu? Aku rasanya tidak mengenalmu sebelumnya!”
“Aku, Hobert Kevianus Eldern. Aku adalah cowok yang pernah menyukaimu, penampilanku memang culun dulu, dan aku biasa dipanggil Hobert. Ingat? Dan ketika aku masuk universitas, aku mengubah penampilan dan nama panggilanku. Dan sampai sekarang rasa suka itu berubah menjadi cinta, Ev. Oleh karena itu aku masih mencari tahu tentang informasi kamu, dan untungnya ada Bella.”
“Astaga? Jadi kamu Hobert? A-apa? Kamu ga bercanda kan?”

Hobert, ya, nama cowok itu tidak asing ditelinga Evlin. Dulu sewaktu diacara perpisahan Hobert pernah menembaknya sekali, namun ditolak Evlin. Evlin tidak menyangka Hobert itu adalah Kevin yang sangat jauh berbeda sekarang, tidak dapat dipungkiri, Hobert atau Kevin yang sekarang memang lebih tampan & berwibawa.

“Sekarang kamu sudah tahu kan? Ev, aku masih menunggu untuk cintaku diterima olehmu. Jadi, maukah kamu menjadi pacarku?” ujar Kevin sambil menyodorkan sebuah mawar merah yang telah layu.
“Mawar itu? Mawar itu yang dulu kamu sempat ingin berikan ke aku kan? Tetapi aku buang. Maaf, Kevin. Aku ngga bisa terima kamu…”
“Kenapa? Masih tentang Ben? Ev, life must go on, jangan gara-gara hal ini kamu menutup pintu hatimu. Jika Ben benar-benar tulus dan cinta sama kamu, mungkin pada saat kamu bilang putus dia tidak membiarkan mu pergi begitu saja. Apakah dia masih pantas diperjuangkan jika ia saja tidak mempedulikanmu?”

Evlin hanya diam, ia bingung, disisi lain ada hati yang terluka & cinta yang mulai tumbuh.

“Baiklah, Ev. Aku akan masih menunggu cintaku diterima olehmu. Tapi ingat Ev, Ben saja dengan mudahnya melupakanmu, tetapi kenapa kamu tidak dengan mudahnya juga melupakannya? Aku tahu cinta pertama memang sangat berbekas, tapi tak ada untungnya jika kita terus hidup dimasa lalu. Kamu masih punya kehidupan, Ev. Masih banyak yang harus kamu lakukan tanpa Ben, masih ada bintang yang menemani bulan, masih ada Tuhan yang menemanimu, Ev. Dia tahu yang terbaik untukmu, dan setiap kejadian yang terjadi adalah atas dasar kehendakNya, atas dasar rencanaNya yang suatu hari akan indah pada waktunya…”

Kevin pun pergi meninggalkan Evlin. Evlin hanya terdiam dan memandang kosong kejauhan. Ntah apa yang bergejolak dalam hati dan pikirannya, yang jelas semua itu tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Air mata pun mulai perlahan-lahan jatuh dari matanya.
***
Para pelayatpun satu per satu pulang meninggalkan makam tersebut. Namun ketika semua pelayat pergi, masih ada satu yang tertinggal, yaitu Evlin yang masih duduk disamping makam yang penuh dengan bunga tersebut. Evlin terisak, tidak menyangka bahwa semua akan berjalan secepat ini. Air matanya jatuh saat membaca sepucuk surat yang berikatan dengan setangkai mawar layu.

Dear Evlin,
Ev, mungkin ketika kamu baca surat ini, aku sudah tidak berada disampingmu lagi, mungkin aku telah pergi kesisi-Nya. Penyakit leukemia ku semakin parah, dan aku takut pada saat detik-detik terakhir hidupku, aku tidak bisa melihatmu dan menyatakan cintaku padamu untuk yang kesekian kalinya. Maka dari itu, aku meminta Bella untuk mempertemukan kita di bioskop kemarin, dan akhirnya pada pertemuan kedua, aku bisa menyatakan cintaku dan melihat wajahmu dari dekat lagi. Namun, aku berharap bahwa di detik-detik terakhir hidupku, aku dapat merasakan cinta dari mu, Ev. Tapi ternyata tidak, ternyata kamu masih belum bisa menerima cintaku. Tetapi itu tidak masalah bagiku, Ev, mendengar suara mu saja sudah bisa menghapus rinduku yang telah kusimpan selama setahun lamanya setelah kita lulus. Terima kasih Evlin, sudah menjadi orang terakhir yang aku cintai. Semoga kamu bisa menemukan cinta lain yang bisa membuatmu bahagia, ya. Berhenti tangisi masa lalu, karena tangisan itu akan berubah menjadi senyuman bahagia disuatu hari nanti.

Salam hangat,
Hobert Kevianus Eldern

“Kevin, maafkan aku, sampai diakhir hayatmu, aku belum bisa menerima cintamu… Jika aku tahu kalau usiamu tinggal 3 hari akibat leukemia itu, pasti aku akan menerima cintamu hari itu, disaat kita bertemu ditaman. Dan aku menyadari, bahwa kata-katamu benar, terima kasih telah menyadarkanku. Aku mencintaimu juga, Kevin…”

Kamis, 20 Juni 2013

Silhouette, A Litlle Story

Let the sun running to hide in the west, i still standing here. Alone in the decreasing light, with the most hurt pain here...
I see you in my silence, and trying to say something that you never know. We used to walk together, we used to laughing together, and we used to loved each other.
I try to carve a rainbow up on my day, in order it can make me smile, but it's useless...
And now is night, may stars and moon shining in the dark sky, brighting the life.
Because...

I'm tired of waking up in tears
'Cause I can't put to bed these phobias and fears
I'm new to this grief I can't explain
But I'm no stranger to the heartache and the pain

The fire I began is burning me alive
But I know better than to leave and let it die

I'm a silhouette asking every now and then
"Is it over yet? Will I ever feel again?"
I'm a silhouette chasing rainbows on my own
But the more I try to move on, the more I feel alone
So I watch the summer stars to lead me home

I'm sick of the past I can't erase
A jumble of footprints and hasty steps I can't retrace
The mountain of things I still regret
Is a vile reminder that I would rather just forget (no matter where I go)

The fire I began is burning me alive
But I know better than to leave and let it die

I'm a silhouette asking every now and then (now and then)
"Is it over yet? Will I ever smile again?"
I'm a silhouette chasing rainbows on my own
But the more I try to move on, the more I feel alone
So I watch the summer stars to lead me home

'Cause I walk alone
No matter where I go
'Cause I walk alone
No matter where I go
'Cause I walk alone
No matter where I go

I'm a silhouette asking every now and then (now and then)
"Is it over yet? Will I ever love again?"
I'm a silhouette chasing rainbows on my own
But the more I try to move on, the more I feel alone
So I watch the summer stars to lead me home

I watch the summer stars to lead me home.

I don't even want to see the past, whereas now i've most hurting by time who keep healing this deep pain. Yes you know, that i can't easily to forget you. As like as the moon and stars, who never with together, but it's still near to each other. Do the same thing together, but never be united...