Senja
itu langit perlahan berubah warna menjadi gelap, ya, mendung. Hiruk pikuk
orang-orang di sebuah taman yang sedang berjalan ke satu tujuan dimana untuk
menghindari hujan yang akan datang, atau bisa dikatakan mereka pulang kerumah.
Namun, Evlin masih saja tetap bertahan dibangku itu, letaknya ditengah taman
didekat danau, disampingnya terdapat sebuah pohon akasia yang daunnya mulai
berguguran satu persatu diterpa angin.
“Huhhh…”
rintih Evlin pelan
Kenangan
itu kembali melesat dalam pikirannya, bayangan itu, seakan nyata didepan
matanya. Ia masih bisa mengingat betapa basah pipinya karena air mata yang
mengalir, ia juga masih bisa mengingat kejadian itu, yang rasanya baru saja
terjadi, padahal itu telah terjadi berminggu-minggu yang lalu, serta ia bahkan
masih bisa merasakan luka yang baru tergores saat itu, yang masih basah,
tersayat dalam, & takkan terlupakan.
“Aku tahu, aku yang mengakhiri
semua ini. Itu semua karena aku ga sanggup kamu buat seperti ini, aku sakit.
Namun disisi lain, aku benar-benar tulus mencintaimu, tapi kenapa kamu ga
pernah menghargai perasaan aku?”
“Maafkan aku, Evlin. Kita udah ga
bisa bersama lagi, aku udah terima keputusanmu itu. Dan aku rasa lebih baik
kita berteman saja…”
“Tapi Ben…”
Cinta
memang menyakitkan untuk Evlin, ia yang selama setahun terus tersakiti oleh
Ben, terpaksa mengakhiri hubungannya sendiri. Dan dari situlah, Evlin tahu.
Bahwa Ben selama ini tidak pernah tulus mencintainya, tidak pernah ingin
memperjuangkan hubungan mereka, dan ketika terbebas dari Evlin, Ben seperti
burung yang lepas dari sangkar, Evlin sudah lelah berjuang sendirian untuk
mempertahankan hubungannya itu. Walaupun sebenarnya berat, cinta itu sudah
seperti akar pohon akasia yang hidup berpuluh-puluh tahun ditaman itu, kuat
& dalam menembus tanah, banyak menyimpan kenangan, serta sukar untuk
dihancurkan.
Tak
terasa, air mata pun jatuh membasahi pipi Evlin, seiring dengan turunnya
rintik-rintik hujan yang jatuh membasahi bumi.
***
“Ev,
jalan yuk?” ujar Bella
“Kemana?”
jawab Evlin
“Nonton
bioskop, aku udah lama nih ga nonton film. Temenin yuk? Sekalian aku mau
kenalin kamu teman-teman kuliah aku. Ya sebagai murid universitas yang baru
& baik, harus punya banyak teman dong?”
“Hm,
iya deh iya. Aku juga lagi bosen nih.”
“Oke
sip, siap-siap gih sana!”
“Iya
iya, bawel.”
Bella,
merupakan sahabat Evlin. Mereka berteman sejak SMA, meskipun sekarang mereka
berbeda universitas. Bella sangat mengetahui semua kisah yang dialami
sahabatnya Evlin, seperti yang ia tahu sekarang bahwa Evlin trauma dengan suatu
hal yang namanya CINTA. Semenjak putus dengan Ben, hidup Evlin kini tak jauh
dengan air mata, oleh karena itu sebagai sahabat yang baik, Bella selalu ada
disamping Evlin untuk menghibur.
“Ev,
nih kenalin teman aku namanya Jill, Lily, & cowok yang satu ini namanya
Kevin.” ujar Bella seraya menunjuk orang-orang yang dibilang temannya itu.
“Hai.
Evlin…” ucapku dengan melemparkan sebuah senyuman ke mereka bertiga &
berjabat tangan satu per satu.
Tiba-tiba
saat bersalaman dengan Kevin…
“Hai,
Ev. Aku Kevin…”
“Hei?
Kok melamun? Ada yang salah dengan aku?”
“Oh,
ngga ngga kok.”
Evlin
melamun, terasa seperti Kevin memancarkan aura tersendiri saat didekat Evlin,
rasanya Evlin pernah bertemu dengan Kevin. Namun, momen itu juga mengingatkan
Evlin pada saat pertama kali berkenalan dengan Ben. Sesak & bingung, itulah
yang ada dibenak Evlin sekarang. Ia tidak tahu kenapa ini bisa terjadi.
Ternyata kegelisahan Evlin terbaca oleh Bella.
“Ev,
kenapa?” tanya Bella
“Ngga
kok, Bel. Oh iya aku tiba-tiba ga enak badan nih, aku pulang duluan yah?”
“Jangan
bohong deh, Ev. Aku tahu, pasti sekarang kamu keingat sama Ben, kan? “
“Hm…
Iya, Bel. Ntah kenapa perkenalan aku sama Kevin mengingatkan aku dengan Ben…”
“Ev,
aku tahu kamu tulus mencintai Ben, karena dia juga cinta pertama kamu kan? Tapi
Ev, sampai kapan kamu begini terus? Apakah Ben juga ngerasain apa yang kamu
rasain sekarang? Ngga kan? Bahkan dia ga mungkin sering keingat dengan kamu,
lihat aja kemarin dia ga ada usaha buat jelasin semuanya pas kamu bilang putus
kan? Untuk apa mikirin orang yang ga pernah mikirin kamu? Untuk apa nangisin
orang yang ga pernah nangisin kamu? Open your eyes, Ev!”
Evlin
cuma diam, didalam hatinya ia membetulkan kata-kata Evlin. Namun semua itu
tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Luka itu butuh waktu untuk sembuh,
dan ketika sembuh juga pasti akan meninggalkan bekas, bekas yang akan dibawa
seumur hidup. Cinta yang membuat semua ini, hanya cinta yang dapat membuat
sebuah taman berbunga menjadi gurun pasir yang gersang.
***
Handphone
Evlin berbunyi, ternyata ada seseorang yang menelpon. Namun, nomor tersebut
tidak terdaftar dikontak handphone Evlin.
“Halo. Ini siapa ya?”
“Halo, ini Evlin kan? Aku Kevin…”
Evlin
terkejut mendengar hal itu, siapa yang telah berani memberikan nomor
handphonenya ke orang lain? Jawabannya pasti, Bella!
“Oh, iya ada apa ya?”
“Ngga, oh iya tadi Bella pesan sama
aku, katanya nyuruh kamu untuk pergi ke taman ntar sore.”
“Hah? Ngapain? Kok dia ga telpon
atau sms aku yah?”
“Ga tau juga sih, tapi tadi dia
sibuk banget soalnya.”
“Oh iya deh, thanks ya, Kev.”
“Sama-sama.”
Suasana
taman itu tidak terlalu ramai sore ini, mungkin karena hari ini bukan hari
Minggu atau Sabtu, melainkan hari Senin. Dimana mungkin sebagian orang lelah
akibat sibuk bekerja dan memilih pulang kerumah daripada menikmati keindahan
taman ini.
“Mana
sih Bella? Udah sejam nunggu, eh ga muncul-muncul.” gumam Evlin sambil
memindahkan posisi duduknya.
“Hai,
Ev!” panggil suara yang tidak asing ditelinga Evlin
“Kevin?
Kok kamu disini?”
“Aku
disini buat ketemu sama kamu.”
“Ketemu
aku? Untuk apa?”
‘“Ga
kenapa-kenapa. Oh iya kenapa kemarin kamu kelihatan murung?”
“Kapan?”
“Pas
kita pertama ketemuan, kamu ada masalah?”
“Hm,
ngga kok. Kamu jangan asal tebak deh.”
“Terkadang
kita harus dipertemukan dengan seseorang yang salah, sebelum akhirnya
dipertemukan dengan seseorang yang benar. Masa lalu bukanlah sebuah kejadian
yang perlu disesali akan kehadirannya dalam hidup, namun masa lalu harus
dijadikan sebuah pelajaran agar kesalahan itu tidak terulang untuk kedua
kalinya. Mungkin Tuhan memisahkan kamu dengan orang yang kamu cinta, karena dia
bukan yang terbaik untukmu, dia tidak tulus mencintaimu, dia tidak pernah
berjuang untuk hubungan kalian, & dia dengan mudahnya membiarkan orang yang
mencintainya pergi dari hidupnya. Percayalah, Tuhan akan menggantinya dengan
seseorang yang cintanya lebih besar dari cintamu, yang akan berjuang dalam
hubunganmu, & yang akan terus menggenggammu agar kamu tidak pergi dari
hidupnya.”
Evlin
terkejut mendengar semua perkataan Kevin barusan. Kenapa dia bisa tahu? Apa
Bella sudah membocorkan rahasia hidupnya dengan orang lain? Evlin ingin marah,
namun ia kembali teringat dengan Ben. Apa yang diucapkan Kevin memang betul apa
adanya, namun sekali lagi, cinta yang dapat membuat seseorang bertahan
sendirian dalam luka.
“Ayolah,
Ev! Move on! Masih ada orang yang mencintaimu didunia ini, termasuk AKU!”
Bagai
tersambar petir disiang hari, hal gila apa lagi ini? Seorang cowok yang baru
sekali ia temui menyatakan cinta?
“Hah?
Apa kamu gila? Kamu boleh menasehatiku dengan kata-kata puitis itu! Tapi ingat,
kita baru sekali ketemu, dan dengan semudah itu kamu menyatakan cinta?
Sepertinya kamu belum tahu makna cinta yang sesungguhnya…”
“Aku
sudah tahu, bahkan sejak 4 tahun yang lalu! Sejak kita masih duduk di bangku
SMA, ingat?”
Apa?
SMA? Rasanya Evlin tidak pernah mempunyai teman SMA bernama Kevin, apa-apaan
semua ini? Apa Evlin pernah amnesia sehingga tidak bisa mengingat dengan baik
teman-temannya?
“SMA?
Siapa kamu? Aku rasanya tidak mengenalmu sebelumnya!”
“Aku,
Hobert Kevianus Eldern. Aku adalah cowok yang pernah menyukaimu, penampilanku
memang culun dulu, dan aku biasa dipanggil Hobert. Ingat? Dan ketika aku masuk
universitas, aku mengubah penampilan dan nama panggilanku. Dan sampai sekarang
rasa suka itu berubah menjadi cinta, Ev. Oleh karena itu aku masih mencari tahu
tentang informasi kamu, dan untungnya ada Bella.”
“Astaga?
Jadi kamu Hobert? A-apa? Kamu ga bercanda kan?”
Hobert,
ya, nama cowok itu tidak asing ditelinga Evlin. Dulu sewaktu diacara perpisahan
Hobert pernah menembaknya sekali, namun ditolak Evlin. Evlin tidak menyangka
Hobert itu adalah Kevin yang sangat jauh berbeda sekarang, tidak dapat
dipungkiri, Hobert atau Kevin yang sekarang memang lebih tampan &
berwibawa.
“Sekarang
kamu sudah tahu kan? Ev, aku masih menunggu untuk cintaku diterima olehmu.
Jadi, maukah kamu menjadi pacarku?” ujar Kevin sambil menyodorkan sebuah mawar
merah yang telah layu.
“Mawar
itu? Mawar itu yang dulu kamu sempat ingin berikan ke aku kan? Tetapi aku
buang. Maaf, Kevin. Aku ngga bisa terima kamu…”
“Kenapa?
Masih tentang Ben? Ev, life must go on, jangan gara-gara hal ini kamu menutup
pintu hatimu. Jika Ben benar-benar tulus dan cinta sama kamu, mungkin pada saat
kamu bilang putus dia tidak membiarkan mu pergi begitu saja. Apakah dia masih
pantas diperjuangkan jika ia saja tidak mempedulikanmu?”
Evlin
hanya diam, ia bingung, disisi lain ada hati yang terluka & cinta yang
mulai tumbuh.
“Baiklah,
Ev. Aku akan masih menunggu cintaku diterima olehmu. Tapi ingat Ev, Ben saja
dengan mudahnya melupakanmu, tetapi kenapa kamu tidak dengan mudahnya juga
melupakannya? Aku tahu cinta pertama memang sangat berbekas, tapi tak ada
untungnya jika kita terus hidup dimasa lalu. Kamu masih punya kehidupan, Ev.
Masih banyak yang harus kamu lakukan tanpa Ben, masih ada bintang yang menemani
bulan, masih ada Tuhan yang menemanimu, Ev. Dia tahu yang terbaik untukmu, dan
setiap kejadian yang terjadi adalah atas dasar kehendakNya, atas dasar
rencanaNya yang suatu hari akan indah pada waktunya…”
Kevin
pun pergi meninggalkan Evlin. Evlin hanya terdiam dan memandang kosong
kejauhan. Ntah apa yang bergejolak dalam hati dan pikirannya, yang jelas semua
itu tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Air mata pun mulai perlahan-lahan
jatuh dari matanya.
***
Para
pelayatpun satu per satu pulang meninggalkan makam tersebut. Namun ketika semua
pelayat pergi, masih ada satu yang tertinggal, yaitu Evlin yang masih duduk
disamping makam yang penuh dengan bunga tersebut. Evlin terisak, tidak
menyangka bahwa semua akan berjalan secepat ini. Air matanya jatuh saat membaca
sepucuk surat yang berikatan dengan setangkai mawar layu.
Dear Evlin,
Ev, mungkin ketika kamu baca surat
ini, aku sudah tidak berada disampingmu lagi, mungkin aku telah pergi
kesisi-Nya. Penyakit leukemia ku semakin parah, dan aku takut pada saat
detik-detik terakhir hidupku, aku tidak bisa melihatmu dan menyatakan cintaku
padamu untuk yang kesekian kalinya. Maka dari itu, aku meminta Bella untuk
mempertemukan kita di bioskop kemarin, dan akhirnya pada pertemuan kedua, aku
bisa menyatakan cintaku dan melihat wajahmu dari dekat lagi. Namun, aku
berharap bahwa di detik-detik terakhir hidupku, aku dapat merasakan cinta dari
mu, Ev. Tapi ternyata tidak, ternyata kamu masih belum bisa menerima cintaku.
Tetapi itu tidak masalah bagiku, Ev, mendengar suara mu saja sudah bisa
menghapus rinduku yang telah kusimpan selama setahun lamanya setelah kita
lulus. Terima kasih Evlin, sudah menjadi orang terakhir yang aku cintai. Semoga
kamu bisa menemukan cinta lain yang bisa membuatmu bahagia, ya. Berhenti
tangisi masa lalu, karena tangisan itu akan berubah menjadi senyuman bahagia disuatu
hari nanti.
Salam hangat,
Hobert Kevianus Eldern
“Kevin,
maafkan aku, sampai diakhir hayatmu, aku belum bisa menerima cintamu… Jika aku
tahu kalau usiamu tinggal 3 hari akibat leukemia itu, pasti aku akan menerima
cintamu hari itu, disaat kita bertemu ditaman. Dan aku menyadari, bahwa kata-katamu
benar, terima kasih telah menyadarkanku. Aku mencintaimu juga, Kevin…”