Jumat, 11 Juli 2014

PESAN-PESAN TERAKHIR

“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.”


Malam itu Pontianak diguyur rintik-rintik hujan yang tak terlalu menggebu untuk jatuh ke muka bumi. Kota yang terkenal dengan kota Khatulistiwa itu kini merasakan segarnya air hujan setelah seharian dibakar oleh sang mentari. Disebuah toko kue dekat pinggiran jalan terlihat beberapa karyawan yang mengurungkan niatnya untuk pulang kerumah, sehingga mereka memilih kembali kedalam sambil menunggu hujan pergi tanpa meninggalkan jejaknya lagi. Kecuali seorang wanita muda yang masih sibuk dengan menghiasi sebuah kue dihadapannya. Wanita itu tampak serius dan hati-hati dalam setiap gerakannya untuk membuat pola hiasan kue. Sepasang baju dressan berwarna coklat sepanjang lutut menghiasi tubuhnya yang ramping, terlihat sangat pas sekali dengan warna kulitnya yang kuning langsat, rambutnya yang diikat ekor kuda bergulung-gulung indah, sebuah topi putih bertuliskan “Do & Mi” berwarna merah bertengger dikepalanya, wajahnya oval dan memiliki bola mata berwarna coklat. Dia adalah Resti seorang karyawati ditoko kue tersebut, ia sudah bekerja selama 2 tahun disana. Hidup di kota Pontianak memanglah tidak sesulit dengan hidup di Jakarta, namun Pontinak akan sama kerasnya dengan Jakarta apabila kita tidak memiliki keterampilan untuk bekerja.

Sebuah telepon berbunyi.

“Selamat malam, Do & Mi disini. Ada yang bisa dibantu?” sahut Resti menjawab telepon tersebut, “Baik, terimakasih. Besok pesanannya akan kami antar, selamat malam.”

Malam-malam seperti ini, masih saja ada memesan kue untuk acara keesokkan harinya. Untung saja ini adalah toko kue, dimana segala macam kue ada didalamnya kecuali kue tradisional. Sehingga tak perlu bersusah payah menentukan jenis kue apa yang tepat untuk dijadikan kudapan disebuah acara.

“Pesanan lagi?” Tanya Hani

“Iya nih, bagus deh kalau kita banyak dapet pesanan.” jawab Resti

“Oh iya, kamu belum mau pulang? Hujan sudah reda.”

“Tanggung nih, bentar lagi deh, aku belu selesai buat topping.”

“Oh iya deh, aku duluan ya.”

Malam itu ditutup dengan berrhentinya butiran-butiran hujan jatuh ke bumi. Suasana dingin pun menyeruak menghinggapi kulit orang-orang yang sedang terlelap, semakin membuat mereka tenggelam dalam buaian mimpinya.

Keesokkan harinya

“Permisi, ada yang bisa saya bantu?” Tanya Resti kepada seorang pelanggan laki-laki yang baru datang

“Saya mau mengambil pesanan kue tadi malam, sudah jadi?” ujar lelaki tersebut

Namanya pak Andri, sebenarnya dia bukanlah seorang yang sudah beristri ataupun tua, dia masih muda dan sepertinya seumuran dengan Resti. Sedikit lebih tinggi dari Resti, berambut cepak dan berwajah bulat serta sangat menawan dari caranya memakai kaos putih yang ditutupi jaket abu-abu, dengan celana jeans  yang menggantung. Tampak seperti anak muda biasa yang sedang menikmati hidup.

“Terima kasih sudah membeli. Ini barangnya.”

        Lelaki itu mengambil kue tersebut dan langsung berlalu meninggalkan toko kue itu. Rainbow Cake sebanyak dua buah langsung ia borong dari toko tersebut, ia tampak bahagaia ketika mendapatkannya. Sepertinya kue tersebut akan ia berikan kepada seseorang yang spesial.

“Besok libur,  jalan yuk?” ajak Hani

“Ayuk, tapi kemana?”

“Nonton bioskop aja, ada film baru Transformer, seru kayaknya.”

“Boleh banget tuh, udah lama juga aku ga nonton film.”

“Oke, besok aku jemput ya..”

Setelah seharian bekerja, kini waktunya untuk pulang kerumah. Resti mengemaskan barang-barangnya dan segera mengambil kunci motonya.

“Res, ada surat nih ntuk kamu. Aku temuin didepan pintu.” Ujar Hani menyodorkan sebuah surat

Resti langsung membuka surat itu, anehnya tidak ada nama pegirim surat tersebut, sepertinya pengirim tersebut langsung mengantarkannya kesini. Sebuah surat dengan amplop biru, dan didalamnya ada secarik kertas putih yang berisikan 1 kalimat singkat tanpa dibubuhi nama pengirimnya maupun tanda tangnnya.

Terimakasih, senang bertemu denganmu hari ini. Semoga kita bisa bertemu lagi.

Resti penasaran siapa pengirim surat ini, mengapa dia mengirim surat kepada Resti secara diam-diam. Serta kapan dia bertemu dengan Resti? Hari ini cukup banyak pelanggan pria datang membeli kue, sehingga Resti tidak dapat mengingat wajah mereka satu per satu. Resti langsung menyimpan surat tersebut dan bergegas pulang.

Libur kerja kali ini dimanfaatkan Resti bersama Hani untuk pergi menonton film di bioskop, setelah menunaikan haknya untuk memberikan suara pada PilPres 2014 mereka langsung menancap gas ke Ayani Megamall. Mall ini merupakan mall terbesar di Pontianak, dan setelah 15 menit menempuh perjalanan melewati jalan Jend. A. Yani, mereka pun sampai. 
 
“Sambil makan popcorn enak kayanknya.” Ujar Resti

“Oke, aku beli dulu. ”

Film tersebut seperti menghipnotis mereka berdua , mereka seakan masuk ke dalam film dan ikut mengambil peran didalamnya. Rasa senang dan terhibur pun mereka dapatkan setelah menonton film tersebut. Setelah puas menonton dan berkeliling untuk berbelanja, mereka memutuskan untuk pulang kerumah. Resti asik memainkan handphonenya ketika menuruni eskalator, dan tak sengaja menabrak seorang pria. Tetapi pria tersebut langsung menghilang ketika Resti berusaha mencarinya.

“Aku tak sempat melihat wajahnya tadi, apa kau melihatnya?”

“Ngga juga, makanya jangan main hape. Untung kamu ga kenapa-kenapa. Oh iya, makan kue bingke yuk? Aku lagi pengen nih.”

“Terserah lah, aku ikut kamu aja.”

Merekapun pergi menuju toko kue tradisional yang tak jauh dari Ayani Megamall, mereka melewati tugu Digulis yang berada disekitaran kompleks Universitas Tanjungpura, yang merupakan universitas tebesar di Kalimantan barat. Kue bingke merupakan makanan favorit Hani, kue tradisional ini memiliki ciri khas rasa yang legit dan manis. Serta tersedia dalam banyak pilihan rasa.

 “Ibu, pesan kue bingkenya 2 ya!”

Dengan lahap Hani menyantap kue bingke yang berbentuk bunga dan dipotong menjadi 5 bagian itu. Resti masih sibuk dengan handphone miliknya, sepertinya media sosial sudah membuat ia kecanduan.

“Eh, mawar siapa tuh res?”

"Mawar? Mana?”

“Itu di tas kamu.”

Resti langsung memeriksa tasnya, dan benar ada setangkai mawar merah yang diselipkan didalam tasnya. Tidak ada surat ataupun secarik kertas dari si pemberi. Resti teraneh-aneh

 “Itu dari siapa?”

“Aku tidak tahu.”
***
Hari ini toko agak sepi dari biasanya, sehingga suasana terasa suntuk dan membosankan. Sedangkan diluar sana, berbagai kendaraan berpacu satu sama lain dibawah teriknya matahari yang menyengat kulit. Resti kembali dikejutkan dengan kedatangan sebuah surat, yang kali ini dia temukan sendiri dipintu dapur, sepertinya pengirim tidak ingin pemilik toko tahu bahwa ada seorang karyawannya yang sedang mendepatkan surat cinta.

“Apa lagi ini…” keluh Resti sambil membuka surat tersebut

Kali ini surat tesebut dilengkapi dengan foto sebuah boneka beruang yang memegang bantal hati berwarna merah muda. Sangat lucu dan romantis menurutnya, tetapi sekali lagi, siapa pengirim surat ini? Mengapa dia tidak langsung menemuinya? Resti bertanya-tanya dalam hati.

Apa kabar hari ini? Senang bisa bertemu kamu di megamall kemarin, semoga kamu suka dengan bunga itu.

“Apa? Jadi dia yang kutabrak itu…”. Resti bingung dengan lelaki yang satu ini, Resti tidak mengenalnya sama sekali, tetapi lelaki ini mengenalnya, dan bahkan seperti memata-matai Resti. Resti mulai ingin mencari tahu siapa lelaki ini, ia berinisiatif untuk mengintai di dekat pintu dapur selama beberapa hari agar bisa mengetahui pria tersebut. Tetapi sepertinya hal itu sia-sia, karena lelaki itu tidak mengirimkan surat lagi.

“Mungkin dia tahu, sudah bosan dan pergi.”

Resti memberhentikan pengintaiannya itu, tetapi keesokkan hari setelah pengintaian tersebut berakhir, lelaki misterius itu kembali mengiriminya surat, dan kali ini diselipkan disebuah boneka beruang yang sama persis seperti didalam foto kemarin.

Terimakasih sudah menungguiku, aku harap kau suka dengan boneka ini. 

Meskipun senang karena mendapatkan sebuah boneka lucu kali ini, tetapi Resti sangat penasaran dengn sosok lelaki misterius itu. Ia yakin suatu hari nanti pasti ia bisa memergoki lelaki tersebut. Dimasukkannya boneka beruang itu ke dalam tasnya , dan Ia kembali bekerja.

“Ada yang bisa dibantu?” Tanya Resti kpada seorang pelanggan yang sedang kebingungan

Rainbow Cakenya masih ada?”

“Oh, bapak yang kemarin mesan kue itukan? Masih kok, tapi belum dikasi topping, kalau bapak mau bisa tunggu 10 menit, bagaimana?”

“Ya sudah kalau begitu, saya tunggu ya. Tetapi jangan manggil saya bapak dong, masih muda gini masa dipanggil bapak.”

“Oh, haha. Maaf, saya panggil mas aja ya.”

“Terserah enaknya bagaimana saja.”
 

“Iya mas, sebentar ya.”

Pelanggan itu, yang kemarin bernama Andri kembali datang untuk membeli Rainbow Cake ditoko tersebut. Kue ini memang banyak dicari orang, dan masih menjadi makanan favorit untuk anak-anak. Setelah 10 menit menunggu, kue yang dipesan akhirnya sudah jadi. Lelaki itupun langsung pergi meninggalkan toko tersebut dengan senyum sumringah tergurat diwajahnya, sepertinya ia puas mendapatkan kue tersebut.

“Kayaknya Rainbow Cake buatanmu itu laku keras ya, Res?”ungkap Hani

“Iya tuh, banyak kan yang mesan kuenya?” kata sofia

“Ah, biasa aja kok kak. Kue yang lain juga banyak yang beli juga kok.”

“Tapi aku nyicipin dikit kue buatanmu, emang enak kok.”

“Semua kue pasti enak kali, han. Hahaha.”

Resti juga jago membuat kue, dan kue andalannya memanglah Rainbow Cake. Dia telah belajar membuat kue sejak kecil, bersama ibunya. Tetapi ibunya sudah meninggal tiga tahun yang lalu. Kini ia tinggal bersama ayahnya disebuah rumah tua milik ayah dan ibunya, ia bekerja untuk menghidupi ayahnya yang tidak bekerja karena sudah tua.

***

Sudah puluhan surat dan berbagai macam barang yang Resti terima dalam beberapa bulan ini. Boneka, cokelat, jam tangan, permen, gantungan kunci, dan kertas-kertas warna warni berisi kata-kata puitis. Siapa lagi yang mengirim kalau bukan lelaki misterius itu, Resti selalu gagal untuk megintai kedatangan lelaki itu. Semakin lama rasa jengkel mulai mendatangi Resti, ia merasa terganggu dengan semua itu. Akhirnya atas usul Hani, Resti menulis sebuah surat balasan kepada lelaki misterius itu.

Siapa sebenarnya kamu? Kenapa kamu mengirim barang-barang ini? Aku bahkan tidak pernah bertemu denganmu, bahkan rupamu saja aku tidak tahu.

Itulah isi surat yang Resti tulis dan ia letakkan ditempat biasa ia temui surat dari lelaki misterius itu. Keesokkan harinya, surat itu menghilang. Sepertinya surat tersebut sudah dibawa oleh lelaki misterius itu, Resti berharap segera mendapatkan balasan darinya. Sore sebelum Resti memutuskan untuk pulang kerumah, ia kembali mengecek didapur. Ternyata sudah ada balasan dari lelaki tersebut. Seperti biasa, ia menyempatkan untuk membaca surat itu sebentar. Namun ada yang berbeda dari surat tersebut, kali ini lelaki itu menggunakan tinta merah yang sepertinya bocor sehingga meninggalkan bercak-bercak merah dikertas itu.

Aku hanya seorang laki-laki biasa yang tinggal satu daratan dengamu. Aku hanya seorang penggemarmu, aku menyukai kue-kue buatanmu. Tak usah khawatir, jangan merasa seperti dikuntit oleh petugas intel, aku hanya lelaki biasa, ingat itu.

Kali ini kata-kata didalam surat yang dikirim cukup panjang daripada surat-surat yang pernah dikirim sebelumnya. Siapa pria itu? Seandainya Resti bertemu dengan pria itu, ia akan sangat berterimakasih dengan semua pemberiannya selama ini.

“Gila, tuh orang sampai segitunya ya?” ungkap Hani

“Iya, aku juga ngga nyangka.” Jawab Resti

 “Namanya juga fans. Seharusnya kamu bangga dong bisa punya fans.”

“Tunggu, tapi dia ada bilang kalau dia menyukai kue-kue buatanku. Berarti dia pernah kesini dong?”

“Hmm, bisa jadi kan?”

Resti makin penasaran dengan lelaki tersebut, ia menduga bahwa lelaki tersebut sering membeli kue ditokonya. Lelaki itu tetap mengirim surat kepada Resti seperti biasa, dan isinya paling hanya menanyakan kabar dan ucapan-ucapan selamat pagi, malam, dan sebagainya. Resti mencoba membalas surat itu, tetapi tidak mendapat balasan lagi dari lelaki misterius tersebut. Resti pun mulai biasa-biasa saja dengan semua hal itu, ia menganggap seperti memang menjadi seorang idola yang memiliki penggemar rahasia.

“Sepertinya diabaikan, ya sudahlah.” Gumam Resti

Di rumah.

Malam ini, ayah tiba-tiba mengajak Resti untuk berbincang-bincang sebentar. Tak seperti biasanya, wajah ayah serius kali ini.

“Ada apa, yah?”

“Ayah ingin tahu, apakah kamu sudah memiliki pacar?”

“Belum, yah. Resti kan masih mau fokus kerja dulu, ada apa yah?”

“Ayah kan sudah tua, nak. Takutnya sewaktu-waktu ayah dipanggil, ada yang menggantikan ayah untuk melindungi kamu.”

“Jangan ngomong begitu dong, yah. Resti bisa kok jaga diri sendiri.”

“Tapi ayah tidak tenang sampai kamu memiliki suami.”

“Bagaimana aku mau menikah, yah. Pacar saja tidak punya.”

“Oleh karena itu, ayah ingin menawarkan sesuatu padamu. Kamu masih ingat kan dengan pak Rajimo?”

“Ingat, yah. Kenapa?”

“Dia sahabat ayah sampai sekarang, dan dia memiliki anak laki-laki bernama Putra, dan ayah ingin kamu menikah dengannya.”

“A..apa? aku saja tidak terlalu dekat dengannya, yah. Terakhir kami bertemu dua tahun yang lalu.”

“Tenang, nak. Kemarin ayah sudah berbicara dengan pak Rajimo dan Putra langsung, mereka setuju, Putra juga belum memiliki pasangan. Dan semua kembali kepada kamu, nak.”

Resti terdiam, apakah ia harus mengikuti perjodohan ayahnya? Putra memang seorang lelaki yang baik, dan bekerja disebuah toko Elektronik milik ayahnya, Pak Rajimo. Dia dapat dikatakan tampan dan dewasa. Tapi apakah Resti siap dengan perjodohan ini? Namun, memikirkan perasaan ayahnya juga, yang pasti ingin kebaikan untuk anaknya. Maka Resti menerima penawaran ayahnya itu. Besok, direncanakan pertemuan keluarga untuk membahas pernikahan Resti dan Putra.

“Apa? Kamu mau menikah?”

“Apa?!”

“Hah?!”


Semua teman-temannya terkejut mendengar berita yang baru Resti sampaikan tadi.

“Selamat ya, Resti. Jangan lupa undangannya.” Ujar Tiwi

“Iya, tenang aja. Kalian semua akan aku undang kok.”

“Pilihan orang tua pasti memang yang terbaik untuk anaknya, Res.” Sambung Hani

“Betul, Han. Aku percaya dengan pilihan, ayahku. Semoga memang yang terbaik.”

***

“Bulan depan saja, lagipula kita tidak perlu membuat acara yang terlalu mewah, bukan?” ujar pak Rajimo kepada ayah Resti

“Iya, tidak perlu yang muluk-muluk.” Jawab ayah Resti

Perbincangan antar keluarga tersebut masih berlangsung, sedangkan Resti bersama Putra duduk diluar sembari berbincang masalah lain. Sekalian untuk pendekatan diri satu sama lain karena selama ini mereka tidak pernah dekat sama sekali.

“Aku tidak menyangka, haha.” Ungkap Putra

“Aku juga, tetapi aku harap kita sama-sama ikhlas menjalaninya.” Jawab Resti

Saat itu terlihat semburan bahagia terpancar dari mata kedua insan tersebut, saling tertawa dan membuat lelucon satu sama lain semakin membuat mereka mabuk dalam cinta dadakan, meskipun awalnya terlihat canggung tapi Putra selalu saja bisa mencairkan suasana. Dan Resti mulai merasakan sesuatu yang berbeda kepada Putra, semoga ini merupakan awal yang baik untuk kedepannya.

Detik-detik pernikahanpun sudah didepan mata, tinggal seminggu lagi. Hari ini, Resti pergi ke toko kue tempatnya bekerja untuk meminta untuk cuti selama dua minggu. Serta ia menyempatkan diri untuk mengambil surat-surat dari penggemar rahasianya, ternyata lelaki misterius itu masih saja mengirimkan surat kepada Resti. Terlihat lima amplop warna warni berjejer rapi ditempat biasa ia diletakkan oleh lelaki itu, karena sudah 5 hari Resti tidak memeriksanya. Karena tidak sempat untuk membaca surat-surat tersebut, Resti memasukkannya kedalam tas dan segera pergi untuk fitting baju bersama Putra.

“Sampai ketemu nanti ya, Res. Semoga lancar.” Ujar Hani sambil memeluk Resti

“Iya, terimakasih ya, Hani…” jawab Resti sambil membalas pelukan Hani

Resti langsung pamit kepada teman-temannya, dan pergi bersama Putra menggunakan sepeda motor. Mereka langsung bertolak ke sebuah butik untuk memilih baju pernikahan mereka. Walaupun sederhana, tetapi baju dengan nuansa hijau yang dihiasi dengan motif akar-akaran sangat cocok dipakai Resti dan Putra, mereka akhirnya memutuskan bahwa baju ituolah yang akan digunakan dihari spesial mereka nanti. Setelah selesai Resti diantar pulang oleh Putra, dan rencananya besok mereka akan pergi mengantarkan undangan yang belum sempat diantar oleh Putra beberapa waktu yang lalu.

“Hati-hati, ya…” ujar Resti

“Iya, aku duluan ya.” Jawab Putra

Malam itu Resti beristirahat dengan bahagia, karena sebentar lagi ia akan menikah. Ternyata benar, pilihan ayahnya memang yang terbaik untuknya. Tak perlu menunggu waktu lama, Resti sudah terleleap memasuki alam mimpi yang membawanya keangan tertinggi.

Keesokkan harinya.

“Kita pergi kerumah sepupuku dulu, ya.” Kata Putra

Putra tak banyak menceritakan tentang sepupunya yang satu ini, yang Resti thu bahwa sepupunya adalah seorang laki-laki yang sedang sakit parah. Namun Resti tak terlalu ingin tahu tentang hal itu.

“Eh, nak Putra. Ada apa?”

“Ari mana ya, tante?”

“Wah, Ari lagi pergi ke toko kue katanya.”

“Oh begitu, kenalin tante ini calon istri saya. Saya kesini mau antarin undangan ini, minggu depan saya menikah, tante.”

“Wah, selamat ya… Siapa namamu, cantik?”

“Saya Resti, tante.”

“Semoga lancar ya pernikahannya, nanti tante kasi tahu Ari, ya.”

“Iya tante, makasih ya. Kami duluan ya, tan. Mau nganterin undangan yang lain soalnya.”

“Oh iya, hati-hati ya, nak.”

Tante Ari sangat ramah kepada Resti, walaupun beru pertama kali bertemu. Resti senang karena mendapat penerimaan yang baik dikeluarga Putra. Awalnya ia merasa minder, karena ia hanya seorang karyawan ditoko roti, tetapi Putra mau menerima dia apa adanya. Tak lama setelah diperjalanan, Resti mendapat telepon dari Hani, Hani meminta Resti untuk segera ke Do & Mi karena ada hal penting yang ingin dibicarakan. Resti dan Putra langsung menuju ke lokasi.

“Ada apa, Han?” Tanya Resti

“Ikut aku.” Ujar Hani

Resti diajak untuk masuk ke dalam dapur, agar pembicaraan mereka tak terdengar oleh Putra.

“Semalam ada laki-laki yang nyariin kamu, Res. Dan tadi juga dia datang mencari kamu lagi. Kayaknya aku pernah ngeliat dia, tapi lupa dimana.”

“Apa? Dia nyariin aku? Terus kamu bilang apa?”

“Aku bilang kamu lagi cuti nikah, lalu tadi dia nitipin ini dan dia minta aku ngasi ke kamu.”

Hani menyodorkan sebuah amplop besar yang sepertinya berisi sebuah CD dan sepucuk surat.

“Makasih, Han. Aku pulang dulu, ga enak sama Putra.”

***

Sesampainya Resti dirumah, ia langsung masuk ke kamar dan mengunci pintu rapat-rapat. Ia menghidupkan laptopnya, sembari menunggu laptop tersebut siap digunakan ia buka amplop besar berwarna coklat itu. Benar saja, ada sebuah surat dan sebuah CD, pertama ia membaca surat tersebut.

“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu…

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.” (Aku Ingin, karya : Sapardi Djoko Damono)

Aku tahu mungkin selama ini aku hanya bisa mengirimkan surat-surat dan semua barang itu tanpa menampakkan diriku yang sebenarnya. Jujur saja, aku sangat ingin bertemu langsung denganmu, berbincang-bincang sambil memandang bola matamu yang indah itu. Tetapi mungkin kau tidak sadar, bahwa selama ini kita pernah berbincang-bincang. Aku hanya bisa mencintaimu dalam diam, sungguh aku benar-benar mencintaimu. Tetapi aku tahu kita tak bisa bersama, kau tidak perlu tahu kenapa, tetapi yang perlu kau tahu hanya “bahwa aku mencintaimu”. Aku hanya bisa melihatmu dari kejauhan, keadaan ini memang menyakitkan. Tetapi dengan kau bahagia saja aku sudah bisa tersenyum. Aku harap kau tidak keberatan dengan semua ini. Aku harap kau tidak merasa dikuntit oleh seoerang agen intelijen, padahal aku hanya orang biasa yang ingin berusaha dekat denganmu, dan aku sekarang memang benar-benar ada didekatmu. Tetapi kini kau akan menjadi milik orang lain, hatiku terpukul saat melihat surat-suratku sudah tak kau baca lagi, ditambah ketika aku mengetahui kenyataan ini, bahwa kau akan menikah… Aku tak meminta kau membalas surat ini, bahkan membalas cinta ini. Tapi aku mohon, mengertilah…

Tiba-tiba Resti teringat dengan beberapa kata yang ada didalam surat tersebut, surat itu adalah surat dari lelaki misterius yang selama ini mengakui adalah penggemar Resti! Resti terkejut membaca surat itu. Ntah kenapa hatinya sedikit pilu membaca surat tersebut. Ia langsung mengambil CD yang ada bersama surat tersebut dan membuka dilaptopnya. Betapa terkejutnya Resti ketika melihat sebuah video rekaman lelaki yang duduk manis didepan kameranya dan membuat video itu untuk Resti. Lelaki itu adalah ANDRI.

“Hai Res, mungkin kau akan terkejut melihat video ini. Iya, aku adalah Andri, seorang pelanggan yang dua kali membeli Rainbow Cakemu. Aku lah lelaki misterius itu. Maaf jika selama ini aku tidak memberitahu yang sebenarnya. Kau wanita yang sederhana, terlihat dari cara kau menyapaku, kau langsung memikat hatiku.”

Didalam video itu, terlihat mata Andri berkaca-kaca, dan tak lama kemudian bulir-bulir air mata jatuh dipelupuk matanya.

“Jadi, kau akan menikah? Selamat kalau begitu, haha. Hiks… Semoga lelaki yang akan 
 mendampingi hidupmu dapat membahagiakanmu, ya. Maaf kalau aku cengeng, a…aku hanya berusaha menyadarkan diriku bahwa kau dan aku memang tidak bisa bersama. Kira-kira kau bisa bayangkan tidak betapa hati ini teriris. Ah, mungkin aku yang bodoh..”

Ditengah video itu, tiba-tiba aliran darah segar keluar dari hidung Andri. Resti semakin terkejut dengan semua itu, apa yang terjadi dengan Andri? Tetapi seakan tidak merasakan apa-apa, Andri membiarkan darah itu menetes hingga membasahi tangannya. Sayangnya itu hanya video, jika benar-benar Andri ada didepan Resti maka Resti akan mengelapnya.

“Mungkin setelah kau menonton video ini, aku sudah tiada Res… I…iya… aku sudah tiada. Lihat kan? Betapa lemahnya aku sekarang? Kanker otak yang sudah tak bisa ditolong. Kematian sudah didepan mata untukku. Tetapi aku senang karena diakhir hayatku, aku bisa mencintai wanita sepertimu. Kaulah cinta terakhir untukku, bahkan aku tak sempat untuk memelukmu terakhir kalinya, aku juga tak sempat untuk melihat bola matamu yang indah itu. Mungkin… mungkin inilah pesan-pesan terakhirku, setidaknya aku masih bisa memberikan isyarat kepada hujan yang telah menjadikanku tiada. Aku  akan selalu mencintaimu…

Semoga kau bahagia, doaku selalu menyertaimu. Selamat tinggal, Resti.”

Diakhir video itu, Andri menangis sesenggukkan. Tak sadar Resti pun ikut menangis, 
kenapa diam-diam ternyata ada orang yang benar-benar mencintainya? Resti merasa bersalah, ia bingung dengan semua ini. Tiba-tiba Putra menelpon.

“Halo, Res. Kamu dimana? Ayo kita kerumah sakit, Ari meninggal.” Ujar suara Putra disebrang yang terlihat sangat tersekat ingin menangis.

Tak lama kemudian Resti dijemput Putra untuk segera melaju ke Rumah Sakit Sudarso, Resti memahami luka yang menyelimuti Putra. Ia hanya diam saja, Putra pernah bilang bahwa ia dan Ari memiliki kedekatan seperti kakak adik, jadi Resti mengerti perasaannya.

Sesampai di rumah sakit mereka berdua berlari menuju ruangan yang telah diinformasikan tante Ari keada Putra sebelumnya. Sesampainya diruangan tersebut, tangisan pecah karena seluruh keluarga telah berkumpul dan menangis satu sama lain. Betapa terkejutnya Resti, melihat sosok yang terbujur kaku dengan darah segar masih mengalir dihidungnya, ia adalah… ANDRI. Jadi, ternyata selama ini Andri atau yang disapa Ari itu adalah…

“Andri mengalami tekanan beberapa hari ini, puncaknya ketika dia baru pulang dari sebuah toko kue tadi. Dia sudah tidak bisa bertahan, sesuai dengan prediksi kami, ia hanya mampu hidup selama beberapa bulan saja. Mari kita doakan yang terbaik untuknya, semoga ia tenang disana.” Jelas seorang dokter yang jasnya juga ikut berlumuran darah segar.




Rabu, 09 Juli 2014

The Sorrowful of Palestine

Today i'm so sad, because i have been read the news about Gaza... Gaza bleeding again...
And now, the majority vicitms are child, why? It's so hurt me, and make me wanna to cry. Does the soldiers still have their heart?
Why are this war not stopped? Why should make others suffering. This is Ramadhan, Palestine's people want to fasting and celebrate their special month! But why, this Ramadhan have to be a saddest month?



I just thinking, why should this happen? This is not about religion, but this is about humanity!

And one thing again, where is the United Nations? Where is the tool of world's peace? Why are they just silent about Gaza? And where are UNICEF? There  are many children killed in Gaza, why are they just silent? That should there's no that organization i think, because they can't do anything for Gaza today.





But, this incident not spread widely because there's no mass media want to make it big. I'm very disappointed. Everyone looks like blinded by world's cup, they forget about suffering in Palestine!

We are same here, we are human, who have rights to life prosperous and peacefully. Can you imagine that, you being in Palestine now? Be threaten by guns, bomb, and rockets?




DEAR ISRAEL, I BEG YOU TO STOP THE ATTACK WHO KILLED MUCH INNOCENT PEOPLE... PLEASE LISTEN TO YOUR HEART... THERE ARE MANY PEOPLE WHO LOSING THEIR CHILD, MOM, DAD, FRIENDS BECAUSE YOUR GUN...

Minggu, 06 Juli 2014

Mungkin Aku Yang Salah

            Malam ini aku sedang sibuk mengemaskan baju-baju dan perlengkapanku, karena besok aku akan berangkat ke Bengkayang untuk mengikuti Lawatan Sejarah Daerah mewakili sekolahku. Ya, aku baru pertama kali mengikuti kegiatan ini, dan aku rasa besok akan menjadi perjalanan yang seru. Aku hidup di kota Pontianak yang merupakan ibukota provinsi Kalimantan Barat. Katanya, perjalanan dari Pontianak ke Bengkayang memakan waktu 5 jam, aku tidak pernah mengikuti perjalanan darat sejauh itu, karena aku termasuk salah satu orang yang mabuk kendaraan. Aku pergi bersama salah satu teman cowok bernama Riko, dan aku sendiri yang menunjuknya untuk ikut denganku.
            Aku bangun subuh untuk menyiapkan semuanya, karena jam 7 pagi bis sudah harus berangkat. Dengan membawa 1 tas besar dan ransel, aku diantar menuju lokasi tempat berkumpulnya siswa-siswi dari sekolah lain, yang juga mengikuti kegiatan Lawatan Sejarah ini.
“Halo, Riko. Udah dimana?”
“Iya, Fina. Aku udah di Balai Pelestarian Nilai dan Budaya.”
“Udah ramai?”
“Belum kok.”
“Oke, aku dijalan.”
            Panggilan singkat itu segera aku akhiri, dan akupun pergi diantar ibuku. Ketika sampai di lokasi, aku pamit dengan ibuku dan segera mencari Riko. Terlihat Riko sedang berbincang dengan seseorang berjaket merah di dekat pintu masuk, aku langsung menghampirinya.
“Riko!” teriakku
“Eh, sinilah!” jawabnya
            Aku berlari menghampirinya, dan ketika itupun cowok yang berbicara dengan Riko juga memandangiku. Aku sempat terkesima sebentar melihatnya, cowok itu terlihat kalem dan ramah, ia melempar senyum ke arahku.
“Kenalin, ini Fadil.” Ujar Riko
“Fadil…” ujar cowok itu sambil menyodorkan tangannya
“Ehm, Fani…” jawabku dengan menyambut tangannya
“Dari SMA mana?”
“SMA 1 Kubu Raya. Kamu?”
“SMA 9 Pontianak. Sama dengan Riko.”
“Oh, iya.”
“Ko, ngumpul disana aja yuk?”
“Ayolah.”
            Perbincangan singkat bersama Fadil tidak terlalu membuat kesan yang mendalam. Tidak dapat dipungkiri, Fadil memang manis. Ah, sudahlah, aku mengikuti kegiatan ini untuk mencari ilmu, bukan gebetan. Aku pun tidak terlalu mempedulikan Fadil, aku segera berbaur dengan siswa-siswi dari sekolah lain, dan aku pun mendapat banyak teman disana.
“Oke, anak-anak. Silahkan masuk ke dalam bus dengan tertib dan rapi, tas-tas kalian yang berat dan besar silahkan diletakkan disini, nanti biar ditaruh diatas saja.” Ujar salah seorang panitia kegiatan tersebut
“Baik, pak.” Jawab seluruh siswa serentak
            Semua siswa masuk ke dalam bus, aku duduk bersama Riko dengan posisi aku didekat jendela. Karena aku berjaga-jaga supaya tidak mabuk nantinya, meskipun aku sudah meminum obat anti mabuk. Sekilas aku melihat Fadil duduk dibelakang, bersama Andi teman  satu sekolahnya. Di 2 jam pertama, seluruh siswa-siswi didalam bis terlihat heboh, ada yang menyanyi, berbicara, makan, dan tidur. Tetapi setelah itu, semuanya memilih untuk tidur karena perjalanan semakin terasa melelahkan. Begitupun dengan aku, kepalaku mulai terasa pusing. Lalu akhirnya aku memutuskan untuk tidur.
            5 jam perjalanan akhirnya telah kami lalui, kami semua sampai di salah satu hotel Bengkayang, hotelnya cukup besar untuk kami semua yang berjumlah 25 orang. Kepalaku masih terasa pusing, dengan malasnya aku menyeret tas besarku menuju ke lobby. Setelah berkumpul semua, kami diarahkan masuk ke dalam ruangan untuk pengarahan dan registrasi. Disana aku juga menemui siswa-siswi dari Bengkayang yang juga ditunjuk untuk mengikuti kegiatan ini.
“Capek banget kamu, haha.” Suara Fadil tiba-tiba mengejutkanku dari belakang
“Eh, iya nih. Untung aja aku ga mabuk. Heheh.” Jawabku
“Pokoknya abis ini, masuk kamar langsung tepar deh…” sambung Riko
“Setuju!” ujarku
Kami bertiga berbincang-bincang sebentar sebelum akhirnya dihentikan oleh suara panitia yang menggema di ruangan.
“Baiklah anak-anak, kita sudah sampai di Bengkayang. Setelah ini kalian dipersilahkan untuk beristirahat, tapi jam 7 malam nanti kita ada acara pembukaan. Jadi diharapkan memakai pakaian yang sudah diberikan panitia tadi. Mengerti?”
“Mengerti pak.”
“Oke, untuk mempersingkat waktu. Sekarang pembagian kamar, satu kamar untuk dua orang. Dan panitia yang menentukan orang-orangnya. Kalian akan dibaur agar bisa mengenal satu sama lain.”
            Pembagian kamar pun dilakukan, aku mendapat kamar 221 bersama seorang siswi dari SMA 4 Bengkayang bernama Ema.
“Hai, kenalin aku Fina dari SMA 9 Pontianak.” Ujarku
“Iya, aku Ema dari SMA 4 Bengkayang.” Jawabnya
“Kelas berapa kamu?”
“Kelas 3, kamu?”
“Sama dong.”
Kami berbincang-bincang sebentar, lalu aku memutuskan untuk berisitirahat, mengingat nanti malam harus bersiap-siap untuk acara pembukaan. Ema memberitahuku bahwa ia mau latihan menyanyi bersama teman-temannya untuk tampil nanti malam, jadi dia meninggalkanku sendiri di kamar. Tetapi, aku tidak bisa tidur, aku teringat dengan sebatang coklat yang aku ambil ditas Riko tadi.
Riko, dimana kamu? Coklatmu sama aku nih, ambil gih. Ntar abis aku makan. Aku di 221.
Aku mengirimkan pesan singkat tersebut, dan tak lama terdengar suara ketukan dipintu kamarku.
Tok…tok…tok
Aku membuka pintu dan terkejut melihat Fadil yang ikut bersama Riko.
“Eh…?” gumamku
“Ketemu dijalan, kebetulan kamarnya ga jauh dari kamarmu. Jadi dia ikut, sekalian refreshing.” Ujar Riko yang sepertinya tahu kebingunganku
“Kenapa?” Tanya Fadil
“Oh, ngga kok. Nih coklatnya…”
Aku menyodorkan coklat tersebut, lalu Riko membuka dan menawarkan kepadaku.
“Mau?”
This is my favorite!”
“Ternyata kamu suka coklat.” Tiba-tiba Fadil menyambung
“Hehe, semua cewek suka kali.”
“Udah dulu ya, aku mau istirahat.”
Riko dan Fadil pun pergi, aku segera membenamkan tubuhku diatas kasur yang empuk itu. Lalu aku tidur beberapa saat.

***

            Acara pembukaan pun telah selesai, kini kami diberikan waktu senggang untuk mengenal satu sama lain sebelum akhirnya besok memulai perjalanan sejarah. Aku mulai berkenalan dengan semua orang disana baik cewek maupun cowok. Tetapi, terlihat bahwa kami terpecah menjadi dua kubu, yaitu kubu cowok dan kubu cewek. Kubu cowok terlihat ribut, ntah apa yang diributkan oleh mereka, dan mataku lagi-lagi menangkap sosok Fadil yang tengah tertawa mendengar lelucon dari seorang siswa. Hatiku rasanya senang melihat hal itu, apa yang terjadi? Jangan-jangan aku mulai menyukai Fadil? Oh tidak.
“Dor! Ketauan melamun!” Hani seorang teman baru mengejutkanku
“Heh… Untung ga jantungan aku… Jail banget sih!” ujarku
“Haha, maaf... Mikirin apa?”
“Kepo deh. Haha”
Di dalam hatiku sebenarnya ingin sekali mengajak Fadil berbicara, namun rasanya hal itu cukup konyol. Mungkin nanti, ketika ada waktu yang tepat.
            Setelah diberikan waktu sekitar satu setengah jam, kami disuruh tidur oleh panitia dan harus bangun pagi besoknya untuk melaksanakan lawatan sejarah.
“Besok, kita akan ke Gedung Pancasila. Jauh ga dari sini?” tanyaku pada Ema
“Ngga kok, Gedungnya dekat pasar. Palingan 15 menit dari sini.”
“Oh gitu. Lumayan deket lah. Terus Pos Intai Vandering? Sama Tugu Bhineka Tunggal Ika?”
“Wah, itu emang agak jauh. Aku belum pernah kesana.”
“Kita lihat saja nanti, ya. Hehe.”
Aku langsung mengganti bajuku, dan bersiap-siap untuk tidur. Besok dan hari selanjutnya pasti akan melelahkan.

***

Perjalanan lawatan sejarah yang kami lakukan beberapa hari ini cukup menyenangkan menurutku. Dan selama itu pula, rasanya aku makin suka dengan Fadil. Pernah pada suatu malam, ketika aku ingin kembali ke kamar, aku lihat ia sedang bernyanyi menggunakan gitar. Harus kuakui, ia memiliki suara yang sangat bagus, hatiku bergetar mendengarnya. Aku rasa ia dapat dikatakan sebagai cowok idaman, bisa bernyanyi dan bermain gitar itu menurutku sangat romantis. Tetapi sejauh ini, aku tidak berani menyapa atau mengajaknya berbincang-bincang, kecuali dia yang memulai duluan.
            Tibalah dimalam terakhir kegiatan lawatan sejarah ini, malam itu aku diajak Hani untuk bermain ToD atau True or Dare untuk bersenang-senang sebelum besok pulang. Kebetulan Fadil, Riko, Andi, dan teman-teman laon ikut bermain disana, dan baru saja diawal permainan Fadil mendapatkan tantangan.
“Pilih apa?” Tanya Riko
“True aja deh… Bahaya kalau Dare, ntar diminta ngelakuin macam-macam lagi.” Jawabnya
“Oke, milih true ya… Berarti kamu harus jawab jujur… Kira-kira apa nih pertanyaannya ?”
“Kamu suka sama siapa ketika ikut kegiatan ini?!” ujar Andi
Aku terkejut mendengarnya, jantungku terasa berdebar-debar.
“Kenapa? Jangan PeDe dulu, Fin…” batinku
“Aku… Aku suka sama salah satu cewek Bengkayang disini. Inisialnya S…”
Semua orang yang ada disitu langsung heboh, menerka-nerka siapakah cewek yang berinisial S, dan ternyata cewek itu bernama Santi. Sedangkan aku, hanya duduk terdiam. Rasanya sakit, tapi aku punya hak apa untuk marah? Aku kan bukan siapa-siapanya Fadil!
“Seandainya kamu tau, kalau ada cewek yang menyukaimu disini!” batinku
Karena mengantuk, dan aku juga menjadi malas untuk melanjutkan bermain, aku pamit tidur kepada teman-teman disana, termasuk Fadil. Aku hanya memandang Fadil sebentar, lalu aku pergi.
            Keesokkan harinya, semua siswa dikumpulkan di lobby, karena sudah waktunya kami pulang. Disaat-saat terakhir bersama, ada seorang cowok bernama Yudi yang meminta bantuan kepada beberapa diantara kami, termasuk aku, untuk menyatakan cinta kepada Nina, yang merupakan salah satu teman dekatku. Akhirnya aku bersedia membantu, dan aku mengajak Fadil untuk ikut serta membantu bermain gitar dan menyanyi bersamaku. Skenario berjalan lancar, dan pada hitungan ketiga Fadil mulai memainkan gitarnya dan bernyanyi, Yudi langsung berlari ke arah Nina dan berlutut, menyatakan cintanya.
Dan kau hadir, merubah segalanya
Menjadi lebih indah, kau bawa cintaku setinggi angkasa
Membuatku  merasa sempurna
Aku pun ikut bernyanyi bersama Fadil, dan baru kusadari Fadil duduk disampingku. Tidak ada jarak diantara kami. Tak ada yang menyadari kedekatan kami berdua, karena yang lain sedang sibuk menonton pengungkapan cinta dua orang insan itu.
“Kenapa kamu tidak ikut menembak Santi?” tanyaku
“Untuk apa, aku kan udah punya kamu…” jawabnya ketus sambil bermain gitar
“Hah?!” aku terkejut
“Aku hanya suka kepadanya. Hanya suka…”
Aku langsung terdiam mendengar hal itu, apa maksud Fadil berbicara seperti itu? Aku langsung beranjak pergi dan menemui Hani. Aku menceritakan semuanya.
“Apa?! Kayaknya dia bukan cowok baik-baik deh.” Ungkap Hani
“Aku ga tau. Sudahlah, aku males mau mikirinnya. Kayaknya bis aku udah dateng.”
“Ayo aku antar kamu.”
Bis kepulangan ke Pontianak sudah tiba, aku langsung bergegas mengambil tasku di lobby bersama Hani. Tetapi, aku melihat Fadil duduk berdua dengan Santi, sepertinya habis membicarakan sesuatu. Ketika aku lewat didepan mereka, aku hanya memandang sebentar dan Fadil membalas pandanganku, tetapi sangat lama.
Seluruh siswa dan siswi yang berasal dari Pontianak segera memasuki bis tersebut, namun sebelumnya kami berpamitan dengan siswa-siswi Bengkayang. Rasanya berat untuk pergi, karena untukku, semua orang disini telah menjadi keluarga yang mengasikkan. Perjalanan pulang kami tempuh sama seperti perjalanan pergi, yaitu 5 jam. Didalam bis, Fadil beserta Riko dan yang lainnya bernyanyi bersama. Aku tidak terlalu peduli dengan hal itu, lalu aku tidur. Harus ku akui, ia pandai menyembuhkan luka yang ia torehkan kepadaku. Ia membuatku kembali berharap, kembali menyukainya.
“Kita sudah sampai!” ujar Riko membangunkanku
Akhirnya kami sampai kembali di kota tercinta. Aku segera turun dari bis dan mengambil tas ku, karena ibuku sudah menjemput. Aku pamit dengan yang lain, termasuk dengan Fadil. Kami berjabat tangan, dan Fadil sangat lama melepas tanganku.
“Hati-hati, ya.” Ujarnya
“Iya.” Jawabku

***

“Halo, siapa ini?”
“Masa ga tau?”
“Kayaknya kenal deh… Kamu…”
“Ayo tebak, siapa.”
“Fadil?”
“Iya.”
Aku terkejut, tiba-tiba Fadil menelponku. Aku rasa Riko yang memberikan nomorku padanya, karena kemarin Riko melihat aku bersalaman lama dengan Fadil. Kami berbincang-bincang selama satu jam. Kebanyakan Fadil yang memulai pembicaraan, aku hanya menjawab saja. Sebenarnya aku sudah ingin melupakan Fadil, tetapi kini ia muncul kembali. Membuat aku susah melupakannya sekarang.
Setelah itu, kami mulai bersmsan setiap harinya. Fadil yang selalu memulai sms itu, aku senang karenanya. Aku pikir dia memiliki perasaan yang sama denganku. Dia berhasil membuatku seperti jatuh cinta kepadanya, aku memberikan perhatian lebih lewat kata-kata di sms tersebut. Dia juga ikut membalasnya. Aku ingin memberitahukan perasaanku padanya, namun pikiranku masih terpaut dengan penegasan bahwa ia menyukai Santi kemarin. Tetapi aku memilih sabar, mungkin ini bukan waktunya.
            Dua minggu kami dekat, terpaksa harus dipisahkan oleh ulangan semester yang harus kami hadapi. Kami hilang kontak selama ulangan semester berlangsung. Aku menganggapnya baik-baik saja, karena aku pikir kami sama-sama harus fokus mencetak nilai yang baik. Rinduku begitu menggebu kepadanya. Tetapi setelah semua berlalu, Fadil tidak ada kabar sama sekali. Aku mencoba menghubunginya melalui sms, namun ia membalas begitu singkat. Kenapa?
            Kini aku tahu mengapa Fadil tidak menghubungiku lagi, tidak mempedulikanku. Ternyata dia sudah memiliki seorang pacar, iya pacar. Aku mencoba menerima semua itu, ternyata dia tidak bisa menangkap bahasa perasaanku padanya.

Terima kasih, sudah menjadi sahabatku selama ini.

Itulah sebuah pesan singkat yang ia kirimkan kepadaku. Sahabat? Apakah kedekatanku dengannya selama ini layak disebut sahabat? Tetapi aku mencoba menerima semuanya. Mungkin aku yang salah, karena berharap lebih denganmu. Membiarkan rasa ini tumbuh begitu dalam, sedangkan kau mungkin tidak tahu bahwa perasaan ini ada. Iya, mungkin memang salahku, bukan salahmu…





Jumat, 04 April 2014

Perjalanan Terakhir


Allahu Akbar… Allahu Akbar…
Gemericik air wudhu terasa bagai embun di tengah padang pasir saat menyentuh kulitku. Gema adzan sholat subuh telah menggema dimana-mana. Segera ku ambil sajadah & mukenah, melaksanakan kebutuhan pokok dari yang pokok. Kupanjatkan doa keselamatan dunia & akhirat, tak lupa shalawatku untuk Rasullullah SAW, suri tauladan akhlaqul karimah. Sungguh aku sangat mencintainya, ku buktikan dengan mengikuti sunnah-sunnahnya, bershalawat setiap hari, berusaha mengikuti sifat-sifat mulianya, walaupun aku tahu aku tidak akan bisa sempurnya sepertinya. Aku juga berharap bisa bertemunya kelak diakhirat nanti.
***
“Assalamualaikum, Dina.” salamku
“Waalaikumsalam, eh Siti. Ada apa?” jawabnya
“Gini, aku mau cari kerjaan. Kira-kira ada tidak kerjaan buat aku?”
“Wah, maunya kamu kerja apa, Sit?”
“Apa saja yang penting halal, Din”
“Hm, kalau jadi guru ngaji mau ngga, Sit? Tapi jadi guru ngaji sukarela gitu di masjid dekat rumah aku, kadang ada orang tua yang bayar juga sih, murid-muridnya disana juga banyak kok. Jadi lumayan deh.”
“Wah, boleh juga, Din. Tidak apa-apalah yang penting aku bisa membantu abi untuk membeli obat umi.”
“Oke deh, ntar datang aja ya di masjid dekat rumah aku setiap hari Rabu, Jumat, & Minggu.”
“Iya, Din. Makasih banyak ya.”
Sebulan sudah aku melakoni pekerjaan menjadi guru mengaji di masjid Baitullah. Meskipun aku tidak digaji, namun selalu saja ada rezeki yang diberikan Allah kepadaku melalu pekerjaan ini. Alhamdulillah aku sudah dapat tambahan uang sebesar 100 ribu. Rencananya uang ini akan aku berikan ke umi semuanya.
Hatiku tergerak saat melihat seorang kakek tua mengemis & duduk sendirian di teras rumah makan sambil berharap belas kasihan orang-orang yang makan disana, namun sepertinya tidak ada orang yang peduli dengannya. Aku mendekati kakek itu, kondisinya sudah renta sekali, bahkan untuk berjalan ia masih tertatih-tatih. Masya Allah, kenapa pemerintah masih saja membiarkan rakyatnya merana seperti ini. Aku pun berinisiatif membelikannya nasi bungkus & memberinya uang 20ribu. Alhamdulillah, kakek itu menerima pemberianku. Aku dapat melihat raut wajahnya yang begitu bahagia & tidak hentinya mengucap terima kasih kepadaku, tanpa terasa air mataku pun keluar. Subhanallah, seandainya aku dapat membuat kakek itu selalu bahagia. Ya Allah, lancarkanlah rezeki kakek ini, semoga dia dalam kedaan sehat selalu, Amin. Doaku dalam hati. Aku pun pamit & mencium tangan kakek itu. Uangku pun tinggal 60 ribu, aku ikhlas lillahi ta’ala memberikan sedikit dari uang jerih payahku  untuk kakek itu.
“Alhamdulillah Siti. Terima kasih ya, nak” ujar umi
“Sama-sama umi. Tadi sebenarnya uang itu 100 ribu, tapi udah Siti belikan nasi bungkus & dikasi ke pengemis, sama uang 20 ribu. Kasihan sekali dia, mi. Pengemisnya udah tua, udah tidak mampu berjalan lagi. Siti saja sampai nangis karena dia bahagia pas Siti kasi nasi bungkus & uang, dia juga ga berhenti ngucapin terima kasih  ke Siti.”
“Tidak apa-apa, nak. Sebagian dari rezeki kita adalah rezeki orang juga. Jadi harus saling berbagi”
“Iya, umi. Alhamdulillah.”
***
Masih saja setiap malam aku mendengar umi batuk-batuk. Sepertinya penyakit umi semakin parah. Aku tak tega mendengarnya, besok aku berniat untuk membuatkan ramuan herbal untuk umi.
Setelah selesai sholat subuh, aku langsung memasak lauk pauk untuk abi & umi. Aku tidak mau umi yang memasak, karena ia sedang sakit & harus banyak beristirahat. Setelah memasak, aku pergi mencari bahan-bahan untuk ramuan herbal yang akan kuberikan untuk umi disekitar rumahku & memasaknya.
“Umi, minum dulu ini.”
“Apa ini, Siti?”
“Itu ramuan herbal, umi. Buat hilangin batuk umi.”
“Wah, makasih ya, nak. Kamu memang anak yang baik.”
“Sama-sama umi.”
Alhamdulillah, sejak aku sering membuatkan umi ramuan herbal itu & ditambah dengan obat-obatan yang dibeli di apotek, umi sudah tidak batuk-batuk lagi. Aku pun merasa senang, doaku tidak berhenti mengalir untuknya di setiap sholat malamku, berharap akan kesembuhannya. Dan Alhamdulillah Allah mengabulkan doaku.
Pagi ini, ntah kenapa aku tidak enak badan. Tapi mungkin hanya karena masuk angin biasa, pikirku. Aku pun memutuskan untuk pergi mengajar mengaji seperti biasa, karena ini adalah tanggung jawab atas pekerjaanku. Semakin siang badanku semakin tidak enak, kepalaku pusing. Dari pada nanti aku merepotkan orang jika aku pingsan, lebih baik aku pulang saja.
“Kamu kenapa, Sit?” tanya umi
“Tidak tahu, mi. Mau demam kayaknya.” jawabku
“Panas sekali badanmu, nak. Istirahat ya, biar umi yang ambilkan obat untukmu.”
“Iya, umi.”
Setelah minum obat, aku pun tidur. Namun, dalam tidur itu aku bermimpi, aku seperti akan melaksanakan resepsi pernikahan. Aku mengenakan baju berwarna serba putih, & mempelai pria yang tidak aku kenal juga mengenakan baju serba putih. Ku lihat semua keluargaku turut hadir disekelilingku, dengan raut wajah gembira. Namun, tidak dengan umiku, ia menangis. Aku ingin memeluknya, namun pria yang berada disampingku menahanku.
“Ayo kita pergi.” ujarnya
“Pergi? Pergi kemana? Aku sebelumnya tidak mengenalmu, siapa kamu?” tanyaku
“Wahai Siti, sekarang sudah waktunya. Kita akan pergi menghadap Allah SWT, ikutlah denganku.”
“Tapi, aku belum siap. Izinkan aku pamit dengan umi & abiku!”
“Baiklah”
Tiba-tiba aku terbangun. Benar saja, pria yang ada didalam mimpiku itu sedang berdiri disamping tempat tidurku. Tak lama kemudian umiku datang.
“Bagaimana, nak? Sudah baikan?”
“Belum, umi. Tapi aku ingin abi berada disini sekarang. Aku ingin ngomong sesuatu.”
“Ada apa, nak? Baiklah, tunggu sebentar ya.”
Sambil menunggu umi memanggil abi. Dalam hatiku tak henti-hentinya berdzikir & bershalawat, sebentar lagi aku akan datang ke kerajaan mu Ya Rabb & Insya Allah jika diizinkan aku dapat bertemu dengan Rasullullah SAW. Senang bercampur sedih yang berkecamuk dihatiku, aku masih belum rela jika harus berpisah dengan umi & abi.
Umi dan abi pun datang.
“Umi, abi. Siti mau pamit pergi. Maafkan semua kesalahan Siti ya, umi, abi.” ucapku
“Apa maksudmu nak? Kamu ini kenapa? Jangan bercanda, nak.” ujar umi
“Subhanallah, jika ini memang sudah waktunya, pergilah nak. Abi akan selalu mendoakanmu” sambung abi
“Abi juga kenapa? Jangan begini, umi tidak mau kalau Siti pergi!”
“Umi, tadi malam abi bermimpi bahwa Siti akan dibawa oleh seorang laki-laki, tujuannya untuk menghadap Allah & sekarang mimpi abi menjadi kenyataan!”
“Iya umi, abi. Tadi Siti juga bermimpi itu. Sekarang izinkan siti memeluk kalian untuk terakhir kalinya.”
Umi pun hanya dapat terdiam & menangis, sedangkan abi hanya tersenyum kepadaku. Setelah kupeluk mereka, aku pun merasa tenang & siap pergi.
“Siti pergi dulu ya, abi, umi. Siti sayang sama kalian.”
Mulailah terasa dingin diujung kakiku, aku memejamkan mata & mengahadapkan wajahku ke arah kiblat. Dengan napas yang tenang, ku ucapkan 3 kali dzikir & 3 kali shalawat, & terakhir ku ucapkan Asyahdu ala ilaha illalla… wa asyhadu anna muhammadar rasulullah.